20201114

Padahal belum.

Kita lelah seperti sudah sampai di penghujung padahal belum.
Angin di luar selalu kencang dan matahari terik menyengat. 
Tidak ada yang lebih berat daripada terjaga dalam situasi seperti ini.
Kita berharap saja semua cepat koma, agar setelah ini semua usai tidak lagi ada yang pasca-pasca.

Kita lelah seperti sudah melakukan banyak hal padahal belum.
Sudah lama merdeka menjadi narasi yang tidak lagi menjual karena kita semua tidak berbuat apa-apa.
Jangan lagi ada yang bilang tanah surga karena kita belum kemana-mana.
Tanah air kau tidak kulupakan apalagi,
Pergi jauh dan kamu pasti tidak ingin kembali lagi.

Kita lelah seperti sudah sering mendoakan padahal belum.
Tuhan tau kamu hanya memaki tapi tidak pegang kendali.
Menghitung dosa mengurangi pahala.
Cintamu platonis tidak romantis.
Kamu tidak mau berjuang, hanya mau tau-tau selesai.
Tidak belajar, menghindari ujian.
Lalu berharap semua bisa ideal seperti yang kamu inginkan.

Kita lelah seperti tidak membaca sejarah.




20190930

How to Dad

Dear, Dad.

Bisa kita mulai dari mana aja gue ngga ada ide.
Yang gue bisa tulis cuma cinta gue yang tulus dan kekecewaan yang begitu besar.
Sebagai anak perempuan terhadap ayahnya, terhadap cinta pertamanya.
Anak perempuan yang mengetahui dirinya ngga diinginkan menjadi perempuan.
Yang terus didesak untuk jadi kuat seperti laki-laki (katanya).
Yang ngga boleh nangis.
Ngga boleh juga kecewa karna hidup ngga akan pernah memihak yang perasa.

Suatu hari pernah gue cukupkan segala luka yang ngga pernah diobati.
Gue berdiri dengan kemauan sendiri.
Dan berlari untuk tujuan yang pasti.

Meski ujian yang sering datang adalah sandiwara murahan, gue ngga marah.
Gue merasa ini bagian dari cara Tuhan menunjukan bahwa Ayahnya hanya tidak mengetahui bagaimana menjadi Ayah.

20190314

Jalangkung.

Waktu kecil gue sering banget denger orang tua gue bawa-bawa soal setan yang godain manusia. Males berangkat ngaji, diajak ngomongin setan. Males bangun subuh, diajak ngomongin setan. Males belajar, diajak ngomongin setan. Semua hal yang "jelek" tapi suka banget gue lakukan semua dihubungkan dengan godaan setan. Sampe gue pernah berpikir, kenapa Setan suka banget godain gue? Kenapa ngga godain adek-adek gue juga?

1. Gue punya tetangga nasrani dan baik banget. Tetangga terbaik yang pernah gue punya. Bukan hanya sering memberi, tapi mereka mau berkorban juga. Gue sering sedih setiap tetangga gue berbuat baik sama gue, karena di kepala gue tercantum "Kita ngga akan ketemu di surga karna kamu bukan Islam.." Sampai di saat yang bersamaan, gue punya tetangga brengsek banget yang nyokapnya sering gossip dan pernah beberapa kali bikin nyokap gue nangis karena omongannya yang pedes. Saat dijahatin begitu timbul pergolakan hati gue yang menolak untuk masuk Surga kalo harus ketemu orang-orang ini lagi. Kemudian suatu hari gue bertanya sama guru Agama kesayangan gue sampai sekarang, namanya pak Suratman.
"Pak, aku punya tetangga baik banget. Tapi dia Kristen. Emangnya bener kalo bukan Islam ngga akan masuk Surga? Padahal baik banget, Pak... Baik banget. Aku sampe ngga rela kalau tetangga ku itu masuk neraka.."
Pertama kali nanya begitu, pak Suratman cuma asal jawab, "Kalo gitu suruh syahadat aja."
Beberapa kali nanya hal yang sama, mungkin akhirnya pak Suratman ngeh juga kalau ini udah kebaperan akut yang bikin anak SD kelas 5 berencana murtad. Beliau menjawab dengan cerita di jaman Nabi, bahwa ada Pelacur yang sekalipun ia bukan Islam, ia masuk surga karena kebaikan hatinya memberi minum anjing kelaparan. Namun ada juga cerita Paman Nabi yang sangat setia kepada Nabi, namun hingga akhir hayatnya ia belum juga memeluk Islam, maka ia masuk neraka. Semua ketentuan masuk atau tidaknya manusia ke dalam Surga, adalah kehendak Allah.
Namun setelah mendengar cerita itu gue malah tambah gusar. Dunia ini penuh ketidakpastian. Lalu mengapa orang-orang bisa mengatakan kitab ini pasti, agama ini pasti, janji Allah pasti dan lain-lain. Apa sebaiknya kita berbuat baik dan benar aja tanpa klaim yang pasti-pasti? Mungkinkah setan sedang menggoda gue saat gue bertengkar dengan isi kepala gue sendiri?

2. Gue punya Eyang Putri baik banget, super baik dan penyayang. Kebetulan gue pun cucu pertama, jadi gue ngerasain banget disayang setengah mati sama almarhumah. Sayang meski saat itu gue masih kecil, gue udah bisa membaca aura tidak bahagia Eyang Putri terhadap pernikahannya dengan Eyang Kakung. Kalau dipikir sekarang gue kadang nyesel kenapa ngga belain Eyang Putri kalo Eyang Kakung udah mulai Patriarki eshol. Udah luka-luka, tertimpa tangga pula karena Nyokap gue suka ingetin gue kalo Eyang Putri gue bukan Islam, tapi Kejawen. Yang diungkit cuma hal-hal yang bikin anak umur 10 tahun bergidik geli karna Nyokap mention "Eyang Putri masih makan darah ayam" gue pun merasa bahwa Islam gue lebih baik dari Islam Eyang Putri, padahal.. kalau sekarang ditanya kenapa gue begitu liberal, mungkin karena Eyang Putri gue juga.. Beliau sosok yang teladan dan meninggal dalam keadaan yang paling baik. Sosok yang tidak pernah lagi gue temukan, tidak peduli berdoa dengan ritual yang mana, tidak peduli makan apa, beliau adalah inspirasi gue seumur hidup.

3. Setiap (akhirnya) datang ngaji, gue selalu kesulitan membaca huruf Hijaiyah, sampe jadi olok-olokan temen-temen seumuran waktu itu. Seiring waktu berjalan gue masuk ke tahap baca Al-qur'an, dan di SD gue, setiap memulai hari kita akan baca Al-qur'an berbarengan dan karna ngga terlalu jago baca al-qur'an, gue selalu ketinggalan dan kadang salah baca, akhirnya karna kesel gue lalu memutuskan untuk baca artinya aja dalam hati sambil komat-kamitin bibir pura-pura baca huruf arabnya, gue merenungi setiap arti ayatnya (yang sampe saat ini banyak yang masih ngga gue ngerti maksudnya apa). Sampai suatu ketika, gue ketauan ngga ikutan baca sama-sama, akhirnya gue dihukum dan dijadiin bahan ketawaan satu kelas, jujur saat gitu ngga ada trauma berarti, cuma malu dan sedih.. Tapi dari situ gue kaya mau nanya sama diri gue sendiri, sama guru yang waktu itu ngehukum gue dan temen-temen gue yang nyumbang ketawa, apa kita cukup dengan baca Al-qur'an tanpa tau apa arti dan maksud dari ayat-ayatnya? Apa lagi-lagi setan mengganggu gue, makanya gue harus beda sendiri dan keluar jalur sendiri? Kalau gue tanya Nyokap gue, jawaban dia selalu 'Iya itu godaan Setan." lalu mulai membandingkan sikap gue dan adik-adik gue yang penurut dan sesuai garis peradaban banget. Tapi gue ngga puas sampe sana aja, karna Setan ngga pernah jawab itu sendiri. Darimana gue bisa percaya Nyokap gue bener atau engga.

Sampai terkadang gue kepikiran buat main Jalangkung aja pas lagi sendiri biar setan yang selama ini ngikutin dan godain gue bisa kenalan sama gue, mungkin kita bisa berteman baik, tanpa harus tuduh-tuduh dia terus sebagai biang dari segala keonaran pikiran yang gue buat.

20181116

Dua.

Akhir-akhir ini gue sedang terkesima dengan kemampuan membelah dunia gue menjadi dua.

Satu dunia isinya ngomongin Filsafat, ngomongin hal-hal gila yang bisa kejadian dengan segala kemungkinan, ngomongin relativitas, ngomongin absurditas, ngomongin segala hal dengan bebas, tanpa batas.

Di sisi lain, begitu gue ditarik untuk terlibat dalam dunia Penerbangan, tiba-tiba gue bisa jadi orang yang paling waras, paling serius, paling prosedural, ngga mau ngomongin hal-hal di luar data dan jadi Pilot yang jalannya lurus segaris.

Kok bisa ya? Apa aman? Atau gue harus juga sambil belajar Psikologi?

20180518

Musim #1


Dhamendra berlari kecil setelah turun dari mobilnya. Bergegas ia masuk ke dalam gedung apartemen yang penghangatnya selalu dimatikan. Dingin ini tidak pernah sedingin ini, terlebih keheranannya yang sudah memakai 4 lapis baju. Ia menaiki tangga menuju flatnya, berbeda dengan gedungnya, ruangan miliknya tidak pernah mengijinkan pemanas dimatikan, berapapun ia harus bayar. Sebab, mati kedinginan adalah hal terkonyol di jaman ini. 

Ia mengecek sekitar, mengecek ponselnya, kemudian menengok ke arah luar jendela. Ada sesuatu yang ia khawatirkan di tengah dinginnya Minnesota, kepulangan istrinya di cuaca yang seekstrim ini.

“Kamu dimana, Ta?”, Dhamendra mencantolkan earphone dan meletakan ponselnya di dekat meja penghangat, berharap penerima telpon di sebrang bisa merasakan hangatnya.

On my way, Sayang. Bentar yah.”

“Kamu ngga dingin?”

“Kan di dalem mobil, Sayang.. masih ramean juga kali ya, jadi belum berasa banget..”, jawab sebrang dengan suara latar gaduh musik dan suara orang bercerita, suaranya tiba-tiba menjauh, “Berapa derajat sih ini? Minus 2 ya?”

Dhamendra menunggu suaranya mendekat lagi.

“Sayang, pemanasnya ngga ada masalah kan? Soalnya pada mau ke sana..”, suara itu mendekat lagi, namun kali ini membuat Dhamendra mendadak menghentikan napasnya.

“Eng... Ta, kamu mau bawa temen-temen kamu ke sini?”, tanya Dhamendra mengulang.
“Ya, Sayang. Tadi pagi aku udah pesen Lasagna, nanti tinggal dipanasin, aku taro di kulkas.”, selesai menjawab, suara gaduh kembali terdengar, seperti suara bersorak gembira di belakang. Dada Dhamendra tiba-tiba berdegup kencang dan merasa tidak ada harapan.

“Kamu ngga bilang kalau mau ajak mereka ke rumah?”

“Duh, Sayang.. Kalo aku bilang nanti kamu repot pasti masak-masak buat mereka...”, tiba-tiba lagi terdengar suara mengeluh di belakang. “Iya, nanti lo pada makan Lasagna mesen ya, bukan Lasagna buatan Dhamen, hahaha..”, canda sang Istri dengan teman-temannya.

“Eng, bukan itu...”

Nashita terdiam. Perasaannya menebak sesuatu.

Dhamendra menarik nafas, “Iya, Ta.. Aku lagi ngga mau ketemu orang..”

“Ya.. nanti aku telpon lagi ya!”, lalu sambungan pun dimatikan. Meninggalkan Dhamendra yang kembali berpikir, tidak ada manusia yang bisa membawa kehangatan di musim dingin ini, termasuk istrinya. Yang justru semakin dingin menjelang musim dingin, karena aura panasnya hanya akan muncul begitu ia mengundang banyak teman ke rumah untuk koleksi kalor. Kadang, ia hanya ingin sekedar tau kabar Istrinya, tanpa berharap ia ada di sekitar.