20180518

Musim #1


Dhamendra berlari kecil setelah turun dari mobilnya. Bergegas ia masuk ke dalam gedung apartemen yang penghangatnya selalu dimatikan. Dingin ini tidak pernah sedingin ini, terlebih keheranannya yang sudah memakai 4 lapis baju. Ia menaiki tangga menuju flatnya, berbeda dengan gedungnya, ruangan miliknya tidak pernah mengijinkan pemanas dimatikan, berapapun ia harus bayar. Sebab, mati kedinginan adalah hal terkonyol di jaman ini. 

Ia mengecek sekitar, mengecek ponselnya, kemudian menengok ke arah luar jendela. Ada sesuatu yang ia khawatirkan di tengah dinginnya Minnesota, kepulangan istrinya di cuaca yang seekstrim ini.

“Kamu dimana, Ta?”, Dhamendra mencantolkan earphone dan meletakan ponselnya di dekat meja penghangat, berharap penerima telpon di sebrang bisa merasakan hangatnya.

On my way, Sayang. Bentar yah.”

“Kamu ngga dingin?”

“Kan di dalem mobil, Sayang.. masih ramean juga kali ya, jadi belum berasa banget..”, jawab sebrang dengan suara latar gaduh musik dan suara orang bercerita, suaranya tiba-tiba menjauh, “Berapa derajat sih ini? Minus 2 ya?”

Dhamendra menunggu suaranya mendekat lagi.

“Sayang, pemanasnya ngga ada masalah kan? Soalnya pada mau ke sana..”, suara itu mendekat lagi, namun kali ini membuat Dhamendra mendadak menghentikan napasnya.

“Eng... Ta, kamu mau bawa temen-temen kamu ke sini?”, tanya Dhamendra mengulang.
“Ya, Sayang. Tadi pagi aku udah pesen Lasagna, nanti tinggal dipanasin, aku taro di kulkas.”, selesai menjawab, suara gaduh kembali terdengar, seperti suara bersorak gembira di belakang. Dada Dhamendra tiba-tiba berdegup kencang dan merasa tidak ada harapan.

“Kamu ngga bilang kalau mau ajak mereka ke rumah?”

“Duh, Sayang.. Kalo aku bilang nanti kamu repot pasti masak-masak buat mereka...”, tiba-tiba lagi terdengar suara mengeluh di belakang. “Iya, nanti lo pada makan Lasagna mesen ya, bukan Lasagna buatan Dhamen, hahaha..”, canda sang Istri dengan teman-temannya.

“Eng, bukan itu...”

Nashita terdiam. Perasaannya menebak sesuatu.

Dhamendra menarik nafas, “Iya, Ta.. Aku lagi ngga mau ketemu orang..”

“Ya.. nanti aku telpon lagi ya!”, lalu sambungan pun dimatikan. Meninggalkan Dhamendra yang kembali berpikir, tidak ada manusia yang bisa membawa kehangatan di musim dingin ini, termasuk istrinya. Yang justru semakin dingin menjelang musim dingin, karena aura panasnya hanya akan muncul begitu ia mengundang banyak teman ke rumah untuk koleksi kalor. Kadang, ia hanya ingin sekedar tau kabar Istrinya, tanpa berharap ia ada di sekitar.

Musim #2



“Ada ngga sih, orang yang lebih aneh dari kamu?”, singgung Nashita sambil melirik ke arah Dhamendra lewat meja riasnya. Ia membersihkan sisa riasannya pelan-pelan dengan alis mengkerut seperti biasa.

Dhamendra tidak menjawab, sering kali pertanyaan bukan pertanyaan melainkan sarana pemicu konflik. Yang terlontar dari bibir Istrinya jelas sudah ribuan kali, sampai kini hilang makna. Nashita mengetahui dengan sangat jelas keunikan suaminya yang selalu menyita pengertian. Dhamendra yang mengunci kamar saat ia datang bersama teman-temannya, yang hanya diam dalam gelapnya kamar, dan baru keluar jika Nashita yang geram sengaja mematikan heater ruangan. Dhamendra yang tiba-tiba lupa mencabut kunci pintu rumah dari dalam karena ia keluar apartement dengan melompat keluar jendela di musim panas, yang mengakibatkan Nashita harus memanjat tangga lurus penuh resiko untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri. Dhamendra yang memiliki musim tak tentu, musim alergi bertemu orang lain.

Meski di hari lain, Dhamendra dikenal sebagai Dhamendra yang hangat dan penolong oleh tetangga dan teman-teman Nashita. Senang menjamu, memasak, meladeni setiap diskusi sampai pernah menjadi ketua Paguyuban WNI di Minnesota. Namun entahlah, musim dingin dan musim hangatnya tidak terprediksi dan itu membuat Nashita, sebagai satu-satunya yang mengetahui hal ini merasa tidak habis pikir.

“Kamu katanya mau jadi Menteri, kan ngga bisa kaya gini terus?”

“Kan ada kamu.”

“Kalo ngga ada aku?”

“Bilang aja ngga enak badan.”

Nashita memutar matanya. “Kamu tau ini aneh banget kan ya? Aneh banget.”

“Kamu mau sampai kapan sih memilih buat ngga kenal aku?”, Dhamendra tiba-tiba menatap Nashita balik melalui cerminnya. Tatapannya menjelaskan banyak hal yang diketahui Nashita, namun tidak bisa ia terima. Tidak bisa ia maklumi, hanya karena terlalu banyak kerepotan yang diakibatkan. Hanya karena Nashita tidak pernah bertemu manusia seunik ini.

“Sampai musim dingin ini selesai.”, jawab Nashita melengos keluar kamar. Hanya karena hal ini, ia tidak mau ada di satu ruangan dengan Dhamendra.

“Musim dingin kita ngga akan pernah selesai.”

20180503

Bapak.

Saat pesawat cruising di final level gue punya sedikit waktu senggang untuk nerbangin pikiran gue keluar dari pesawat ini. Kadang pikiran yang sering gue kunjungin adalah pikiran tentang "Bagus lagi apa? Udah makan belum ya?" atau "Pesawat di bawah secanggih pesawat gue ngga ya?" atau ngga jarang juga pikiran gue melanglangbuana ke belakang karena obrolan gue sama Kepten gue mengarahkan gue ke sana.

Kebanyakan pertanyaan yang dateng ketika tau gue lulusan Filsafat UI adalah.... "Kok, ambil Filsafat Mel? Kenapa?", lalu muka gue pun sumringah sesumringah kalo ditanya "Mel terbang pesawat apa?", karna gue mencintai dua hal itu. Filsafat dan Boeing. Haha.

Sedikit cerita, dulu kalo ditanya senior jaman Ospek,
"Alasan masuk Filsafat apa?"

Jawaban gue pasti, "Saya mau jadi Penulis." Itu doang sampe bosen.

Sampai gue akhirnya setuju, keputusan gue milih Filsafat UI sebagai pilihan pas ujian SNMPTN tahun 2009 adalah keputusan terbaik gue dalam hidup. Kalo ngga kuliah jurusan Filsafat ngga kebayang gue akan jadi orang kaya apa setelah banyak hal banal gue lewatin selama ini. Sejauh ini, Filsafat yang menyelamatkan gue, mengubah default pikiran gue, dan melatih kerja otak gue secara otomatis ke garis etis dan romantis. Empat tahun aja, tapi dampaknya seumur hidup.

Filsafat itu sulap buat gue. Sebelum masuk Filsafat gue adalah kera dalam gua. Menjalani hidup dengan sangat-sangat pragmatis. Sampai kerja otak gue setara dengan kerja gerobak mie ayam, didorong maju, ditarik mundur. Ngga punya sikap. Kesadaran gue akan hal ini membawa gue mencari dunia yang bisa jadi pintu dimana otak gue bisa naik kastan dari gerobak mie ayam jadi gerobak mainan. Beragam dan menarik.

Filsafat, awalnya, like literally, gue pikir cuma belajar tentang sejarah Filsuf-filsuf dan pemikiran mereka, tugas-tugas yang diminta Dosen ngga pernah gue anggap serius, saat kebagian mimpin diskusi di kelas bahan-bahannya gue siapkan 2 menit sebelum nama gue dipanggil, atau gue lebih milih nongkrong di kantin nontonin senior-senior gue yang gondrong bakar tembakau. Ngga ada yang gue inget tentang dunia akademisnya selain ketika gue dihadapkan dengan kenyataan kalau gue harus ngerjain Skripsi supaya gue bisa lulus dengan gelar Sarjana Humaniora. Dan gue diserahkan kepada salah satu Dosen nyentrik se-UI, Rocky Gerung.


Memiliki dia sebagai dosen pembimbing jadi masa-masa paling menyenangkan sepanjang gue kuliah. Karna, begitu kenal dia gue baru bisa mengimplementasikan apa itu Filsafat ke dalam keseharian. Secara otomatis, Rocky Gerung yang gue panggil Bapak, jadi bapak gue beneran. Gue menanti dimana hari Senin kembali, karna jadwal bimbingan gue selalu jadi hari paling extra selama seminggu, gue dapet caci-maki tapi juga pelajaran sepanjang hidup dalam satu waktu. Manusia konsisten, logis dan etis dengan pikiran paling terbuka yang paling berhati yang pernah gue temui.

Bapak jadi makin bapak begitu gue berhasil menyelesaikan Skripsi gue dengan nilai yang sangat memuaskan, seperti bapak-bapak pada umumnya, dia bangga. Dia tersenyum dan bilang,
"bikin buku, ya."
Namun, saat itu gue hanya tersenyum, menjawab pelan, "Pak, saya mau pendidikan dulu ya tapi." dan gue pun cabut.

Meninggalkan mimpi-mimpi lulusan Filsafat di tempatnya.

Dan setelahnya hari-hari kita ketemu hanya diisi oleh curhatan-curhatan hidup, tentang percintaan atau ngomongin kelakuan orang dengan otak Filsafat satu semester setengah, yang ketemu jaman Yunani dan berakhir di Abad Pertengahan.

Sepanjang perjalanan gue selalu membawa aura Bapak kemanapun gue pergi. Gue belajar konsisten, belajar jadi orang yang logis-etis-romantis dengan pikiran seterbuka mungkin. Tiap gue ngerasa hampir gagal menguasai diri karna gemes liat banalitas, gue nyariin Bapak di Youtube atau TV dan dengerin dia ngomel-ngomel lalu gue pun jadi tenang. Seperti melampiaskan omelan gue melalui dia. That's why mungkin gue emang harus belajar Filsafat sebelum gue memulai apapun itu dalam hidup. Memulai karir dan rumah tangga. Gue perlu ketemu Bapak dulu. Gue butuh memiliki Bapak untuk menyeimbangkan hidup gue. Gue butuh seorang Bapak.

Jadi, kenapa gue dulu memilih masuk Filsafat?

Mau jadi Penulis.

Tetap dengan alesan itu?

Iya. Karna mau bikin buku, buku buat Bapak.