20160410

Tulisan di Kepala #4

"Kamu.

Bahagiain orang yang ada di depan kamu aja ngga bisa, ini udah mau mikirin orang lain berjubel yang kamu ngga kenal.",

Sri dengan nada ketus sambil mematikan TV ruang tengah, melewati bang Teuku yang tengah berada di meja kerjanya untuk menuju kamar.

Setelah masuk kamar dan menutup pintu, Sri ambruk. Tenaganya hilang melalui ucapannya tadi. Ia mulai merasakan matanya panas dan rongga dadanya ngilu. Tak lama kemudian ia mendengar suara barang-barang dibanting dan pecahan kaca bertubi-tubi. Tangisnya pun pecah mendengar suara paling menakutkan di rumah itu.

Ia bersandar di tepi kasur, membiarkan pintu tidak terkunci karena ia tahu persis, suara itu tidak akan menyakitinya. Tapi entah kenapa itu menghancurkannya. Hatinya, harapannya, waktunya, ia merasa sudah sangat terlambat untuk menyesal. Sri menangis untuk puluhan malam yang sama.

Bang Teuku sudah berhenti mengamuk di luar kamar, terdengar suara TV kembali menyala. Beberapa menit kemudian bang Teuku seperti terkekeh oleh sesuatu yang ditontonnya, Sri tau sudah waktunya ia keluar kamar untuk membereskan apa yang dibanting dan dipecahkan bang Teuku tadi.

"Sayang, besok saya jadi ya blusukan ke desa yang ada di belakang perumahan mewah proyekan Walikota itu, sedih saya liatnya."

Sri membereskan satu persatu pecahan beling dan barang-barang yang berceceran di lantai. Tersenyum, seperti tidak ada yang terjadi. Meski matanya masih basah dan sembab.

"Iya, Bang."

20160403

Tulisan di Kepala #3

"Setelah dari RS saya mau ketemu temen-temen saya, kebetulan mereka lagi ada di Jakarta.", Bang Teuku mengabari dari sebrang.

"Oh, kalo gitu anniversary dinner kita digabung aja sama temen-temen kamu?", Sri benar-benar bermaksud bertanya tanpa ada merasa kesal, namun setelah bang Teuku diam dan tidak merespon, Sri tau bahwa ia berhak kesal. "Kamu lupa ini tanggal berapa, bulan berapa dan ada apa... ya?"

Bang Teuku tidak menjawab.

"Setelah ketemu temen-temen, saya kabarin kamu lagi ya."

".........."

"Halo."

"Kamu beneran lupa."
Dalam hati Sri berharap ini hanya skenario bang Teuku untuknya. Tapi harapan itu dengan cepat ia tepis mengingat calon suaminya itu bukan tipe laki-laki yang romantis.

"Saya pikir setelah tunangan kemarin, kita udah ngga akan rayain anniversary kaya gitu lagi, Mba.", kalimat bang Teuku yang begitu tepat sesuai tebakan membuat Sri terdiam. Tidak menanggapi.

"Kabari aku ya."

Mungkin memang harus menjalani seperti ini, banyak hal membuat Sri termenung menimbang posisinya di kepala bang Teuku. Semakin ia memikirkan, semakin ia merasa banyak hal yang salah dalam hubungan yang 6 bulan lagi akan diresmikan. Semakin ia menginginkan pernikahannya, semakin ia merasa harus banyak berkorban. Termasuk mengorbankan perasaannya. Meski ia tidak pernah merasa ini merupakan sebuah keterpaksaan.

Sri pernah berpikir di sebuah malam panjang, mempersiapkan dirinya bila suatu hari harus kehilangan bang Teuku. Setidaknya, Sri belajar banyak untuk hidupnya, cara pandangnya dan prinsipnya. Bang Teuku merupakan laki-laki pertama yang bisa membuatnya percaya bahwa ada sosok yang bisa ia jadikan panutan, setelah selama ini Sri menjalani hidupnya dengan superior dan independensi tinggi. Ia tidak pernah percaya konsep Imam. Baginya kesetaraan adalah tujuan dari semuanya.

Namun dalam masa mengenal dan menginvestigasi bang Teuku, buku-buku tentang Simone de Beauvoir dan Chantal Mouffe tiba-tiba bisa sedikit membaur dengan caranya membaca kesetiaan Siti Khadijah dan keikhlasan Aisyah. Bang Teuku menempatkan dahi Sri sejajar dengannya tanpa perlu ia menunduk atau meninggi, tanpa perlu ia mencari lagi alasan.......... dan kini ia harus merombak semua teori ganjil mengenai itu. Mengenai ketakutannya terbenam di dalam perasaan yang tidak sejajar.