20120121

SHS

Suatu hari di sebuah sore yang mendung.
Di depan komputer milik salah satu teman terbaik semasa SMA, gue nangis tanpa suara. Jari gue berontak di atas keyboard dengan tidak manusiawi. Seperti memaksa airmata keluar, tapi tidak juga keluar.

Pemilik komputer duduk di samping gue dengan tatapan khawatir. Beberapa menit kemudian, setelah tulisan makian selesai. Gue baru nangis meraung-raung. Pemilik komputer membaca tulisan gue.. Mengerti akan kekecewaan yang menghancurkan masa-masa indah selama tiga tahun sebelumnya. Mengerti bagaimana rasanya diasingkan demi sebuah rahasia yang disimpan sahabat-sahabatnya sendiri. Yang tidak perlu disebut siapa namanya.

Hancur.

Dengan seragam abu-abu penuh peluh dan isakan. Seorang Eddy tepat berada di sana sebagai sahabat dan tempat sampah airmata dari seseorang yang kemudian membenci masa-masa SMAnya untuk seumur hidup.

Setelah itu dia selalu jadi orang yang selalu maksa gue buat ikut ngumpul, selalu nuntun gue buat bersikap biasa aja, tetep ceria, ngga boleh nangis lagi, sampai terakhir gue punya masalah sama salah satu sahabat SMA gue, dia yang pertama kali gue kirimin sms, bahwa kenangan SMA gue benar-benar berakhir di hari itu. Dia ngga bales. Keesokan harinya, dia ngabarin kalo dia ada di depan rumah gue, gue cuma bisa ngintip dari jendela, ngebiarin dia nungguin dan ngira gue ngga ada di rumah. Dia pun pergi dengan  kekesalan. Gue berpikir, ketika kenangan SMA gue berakhir, kita pun ngga bisa sahabatan lagi kaya dulu, Dy.


Lo mau buktiin kalo gue salah, Dy.
Ngga ada yang bisa berubah dari seorang sahabat. Sampe kita mati.
Maafin gue.


Mengenang Arief Eddy Budi Arandiko,
Sahabat yang meninggal di perjalanan pulang setelah bersuka cita di puncak Semeru.
1 Januari 2012.

i called it, goodbye.

Aku jatuh cinta pada pandangan pertama,
kedua,
tiga tahun belakangan sampai aku benar-benar tidak ingin lagi.

Aku patah hati pada pandangan ketiga,
keempat,
sampai tiga tahun terakhir kami.

Hari ini anniversary kami yang ke 6. Tidak ada alasan untuk tidak merayakan di restoran tempat pertama kali kami berkencan. Raga memakai jasnya, ia tampak berubah dari 6 tahun yang lalu saat ia masih mengenakan kaos berkerah dan rambut gondrongnya yang kini ia potong habis. Ia sudah 28 tahun sekarang, bukan lagi laki-laki kuliahan yang hilang tujuan.

   "Aku tidak menyangka tempat ini masih tidak berubah dari terakhir kita ke sini tahun kemarin.", Raga nampak berbisik di depanku. "Bahkan dari 6 tahun yang lalu. Yang punya tempat ini konservatif."
   "Bukan konservatif, mungkin yang punya terlalu cinta, sampai dia tidak mau ada yang berubah sama sekali dari tempat ini, seperti pertama kali dia jatuh cinta.", aku menjawab sambil membuka-buka pilihan menu.
   Raga memajukan kepalanya sedikit ke arahku. "Seperti cintamu padaku kan?"
   Aku meliriknya sedikit. Tidak kujawab, sampai akhirnya ku turunkan menu di atas meja dan menatapnya lekat, untuk memastikan bahwa ia masih menunggu jawabanku. "Andai tidak ada perubahan itu, Raga. Mungkin arus itu masih terasa sama, bahkan seperti saat pertama kali aku melihatmu di kampus."
   "Maksudmu?"
   "Karna semua sudah berubah, Raga."
   "Maksudmu?", tanya Raga lagi dan lagi. Ia memundurkan kepalanya, tapi tatapannya ku rasa semakin mendekat. Aku tahu ini waktunya. Saat aku pikir aku sudah siap untuk benar-benar berpisah dengannya. Setelah hampir tiga tahun ku pelajari hilangnya rasa ini.
   Aku memanggil salah satu pelayan untuk mencatat pesanan kami. Tidak bisa berlama-lama duduk tanpa memesan apa-apa. Raga tetap diam, ia menanti jawabanku. Akhirnya aku pesankan salah satu favoritnya, untuk sekedar berada di sampingnya, syukur-syukur ia minum nanti. Satu cup hangat Cappucino dan cup hangat Green Tea latte untukku.
   "Nay, maksud kamu?", ia mencoba mengembalikan pertanyaannya, tak sabar.
   "Aku melewati 3 tahun dengan mencintai kamu, dan 3 tahun untuk benar-benar melupakanmu.", mulaiku. Aku bahkan membiarkan bibir ini mengeluarkan apa saja yang ingin ku keluarkan. Tidak peduli Raga akan sakit, atau tidak.
   "Melupakan apa? Kita sama-sama, Nay?"
   "Ingat terakhir kali aku menangis?"
   Raga mengerutkan keningnya. "Untuk apa aku harus mengingat hal yang sudah lama--
   "Itu yang merubah kita, Raga.", potongku. "Tiga tahun pertama, aku yang sering menangisimu. Kamu yang berubah jadi tidak ingin ingat apa-apa. Kita tidak pernah bisa membicarakan hal-hal di belakang, karna kamu selalu bilang sudah lupa. Saat pertama kali kamu menghancurkan dongengku, ingat?"
   "Nay, kamu mau kita bertengkar di sini?"
   "Tidak. Kita bisa membicarakan ini baik-baik."
   "Kamu tau kan aku....", Raga tampak frustasi. Ia menghela nafas. "Oke. Saat itu kamu bilang aku selingkuh, hanya karna aku menanyakan kabar mantanku, lalu, maumu sekarang adalah?"
   "Aku tidak bisa bersamamu lagi, Raga."
   "Kamu mau kita putus? Lagi?"
   "Kamu ingat terakhir kali aku begini?"
   "Kanaya, stop!!", Raga meninggikan suaranya. "Kamu bener-bener bikin aku gila. Bisa kamu berhenti mengucapkan kata-kata 'kamu ingat?' 'kamu ingat?' aku ngga inget apa-apa, Nay!"
   Aku menegakan sandaranku. Raga masih mencak-mencak di depanku.
   "Sebelum ini kita baik-baik aja, itu yang aku ingat.", lanjutnya.
   "Ya. Semua baik-baik aja. Kamu dengan hidupmu dan aku dengan hidupku. Yang menyatukan kita hanya, kata-kata 'i love you' yang aku sendiri tidak mengerti apa aku masih merasakan hal itu sama kamu, atau itu jadi kebiasaan kita yang tidak bisa hilang. Raga, mungkin menurutmu ini aneh. Tapi rasa ingin berpisah sudah aku rasakan bertahun-tahun kemarin. Tapi aku menyadari, aku tidak bisa melewati perpisahan yang aku sendiri tidak siap. Maka aku benar-benar menyiapkan diri, untuk hari ini."
   Raga masih diam. Menyimakku.
   "Kamu pernah dengar, dalam sebuah pernikahan butuh setidaknya 10 tahun untuk benar-benar menyelesaikan suatu perceraian. Pasangan yang bijak, adalah pasangan tetap bersama dalam 10 tahun tersebut sampai benar-benar selesai, dan kembali ke hidup masing-masing. Dengan bersamamu 3 tahun kemarin, aku merasa benar-benar siap untuk menyelesaikan ini semua."
   "Dengar. Satu hal, Kanaya. Pasangan cerai tersebut dalam kesepakatan selama 10 tahun untuk membenahi sampai akhirnya berpisah. Tapi kamu, kamu tidak dalam kesepakatan bersamaku. Untuk berpisah. Ini dua hal yang...", Raga memutar matanya.
   "Apa kamu pernah mendengarku untuk membuat kesepakatan?"
   Raga diam, ia berpikir. Terlalu lama menunggu jawabannya, aku menghela nafas.
   "Yang akan kamu ucapkan setelah mendengarku hanya, 'aku baru menemukan pemikiran ini, sungguh aneh' apa kamu pikir aku salah bila akhirnya aku memutuskan untuk menyepakatinya dengan diriku sendiri? Kita bukan pasangan bijak. Tapi aku ingin bijak atas diriku sendiri. Aku patah hati, Raga. Aku kecewa kamu berubah dari sejak 3 tahun kita pacaran, tapi aku mencintaimu. Bila aku meninggalkanmu saat itu, aku bisa bayangkan aku adalah gadis terpatah hati yang tidak mau makan, minum, susah tidur dan terus memikirkanmu. Maka aku bertahan. Aku mempersiapkan diri untuk benar-benar bisa denganmu atau tanpamu. Dan itu lebih membantu. Aku bahkan siap untuk hari ini dan ke depannya."
   "Kamu egois."
   "Ya, aku akui aku egois. Menyelamatkan hatiku sendiri bukan? Tapi siapa yang akan menyelamatkannya bila bukan aku sendiri, Raga?"
   Raga diam. Bertepatan dengan itu pesanan kami datang.
   "Kamu bahkan masih memesankan Cappucino untukku, Nay?"
   "Kalau kamu masih ingat, aku adalah orang yang paling hafal apa yang orang lain sukai, meskipun orang itu baru pertama kali aku temui. Kita berbanding terbalik, aku yang ingin mengingat semuanya, dan kamu yang ingin melupakan semuanya."



10 November 2011