20160911

Syarat.

Dentuman kaki itu mendekat ketika saya sudah balik badan.
Nadanya menjadi merdu setelah kemarin berujung gemuruh.
Ada apa?

"Aku, tidak akan lagi memaksa kamu bangun tengah malam hanya untuk mencarikan mimpiku yang hilang.. Atau sarapan dengan menu merepotkan, atau keinginanku memiliki seluruh rambut dan kulit halus lenganmu.. Atau meminta kamu tinggal di sini, di tempat yang tidak kamu kenal ini."

Saya masih bisa mengedipkan kedua mata saya dengan ritme sederhana, tanpa terbelalak.
"Kalau begitu, jadilah Imam yang baik.. Untuk calon Istrimu, bukan saya."

Karena perasaan memiliki lelah yang berujung. Dan kamu adalah pembunuhnya.

20160517

Dilematis Flying School

Hal-hal yang mengganggu di kepala sering kali keucap dua-tiga kali dalam sehari. Jadi puluhan di tiap minggunya, yang dalam hitungan bulan, bisa jadi ledakan yang ngga terarah. Gue beruntung bisa menuangkan bebas di sini, supaya kamu bisa baca.

Mungkin kedengarannya seperti mematikan mimpi-mimpi yang terlihat dekat, tapi percayalah ini hanya fase menunda untuk pertimbangan jangka panjang. Karena apa yang ditawarkan kadang tidak seindah apa yang sedang terjadi di belakang, apa yang sedang menjadi masalah dan ditutupi sedemikian cantik.

Pahit.
Tapi ketahuilah dunia penerbangan tidak sedang bahagia, terutama bagi Pilot yang baru saja lulus dari Flying School. Sebagian besar harus menunggu sambil menjalani kesibukan yang tidak ada kaitannya dengan skill yang sudah dimiliki. Kalimat "Indonesia kekurangan Pilot", menjadi pemicu yang mengundang para pemimpi untuk buru-buru sekolah di Flying School. Sementara kenyataan tidak bersinggungan di lapangan, masih banyak Pilot dengan license CPL/IR (Comercial Pilot License/Instrument Rating) bahkan ME (Multi Engine) masih "diam" menunggu untuk bekerja? Apakah 'Indonesia kekurangan Pilot' hanya sebuah dongeng indah untuk mereka yang bermimpi?

Semula, muncul banyak praduga kalau lulusan Flying School memiliki "Airlines Minded", dengan arti, jadi Pilot itu harus Pilot yang bekerja untuk Airlines, meski kenyataannya tidak melulu. Pilot lulusan Flying School bisa menjadi Pilot pesawat charter, perintis, agrikultural, rescue/ambulance, rekreasi bahkan menjadi Flight Instructor untuk Flying School. Namun, apakah serta-merta variasi profesi Pilot tersebut tidak memiliki persyaratan? Kadang yang diajukan, Pilot harus memiliki jam terbang lebih dari 500 jam, disertakan pengalaman bekerja. Itu berarti, harus tambah biaya lagi, harus membayar training demi training lagi. Tidak jarang banyak yang akhirnya kembali "Airlines Minded" saat mengetahui persyaratan yang bahkan kadang agak mengada-ada, dan berakhir dalam fase menunggu.

Untuk beberapa pemimpi, mungkin tidak pernah terbesit akan sedemikian rumit untuk menerima realitas, bahwa hidup jadi Pilot bukan hanya untuk gaya, tapi bagaimana kita bisa menghasilkan. Maka, saat memutuskan untuk sekolah di Flying School harus lebih dahulu melakukan research, tidak hanya dari social media ke social media, iklan ke iklan, pertimbangan jangka panjang harus diutamakan mengingat biaya yang tidak murah dan kondisi yang sedang terjadi adalah, cycle dalam rekruitmen Pilot sedang berputar ke bawah, terutama di Indonesia.

Namun, tidak menutup kemungkinan cycle rekruitmen Pilot dapat kembali berputar ke atas. Dimana pada masa itu, sumber daya diharapkan dapat mengisi kebutuhan Pilot dalam rangka membangun bangsa, entah itu berkerja untuk Airlines maupun profesi Pilot lain. Yang pasti dalam tulisan ini, masa itu belum hadir sekarang.

Semoga hal-hal yang mengganggu di kepala tidak hanya sepintas tersampaikan.

20160410

Tulisan di Kepala #4

"Kamu.

Bahagiain orang yang ada di depan kamu aja ngga bisa, ini udah mau mikirin orang lain berjubel yang kamu ngga kenal.",

Sri dengan nada ketus sambil mematikan TV ruang tengah, melewati bang Teuku yang tengah berada di meja kerjanya untuk menuju kamar.

Setelah masuk kamar dan menutup pintu, Sri ambruk. Tenaganya hilang melalui ucapannya tadi. Ia mulai merasakan matanya panas dan rongga dadanya ngilu. Tak lama kemudian ia mendengar suara barang-barang dibanting dan pecahan kaca bertubi-tubi. Tangisnya pun pecah mendengar suara paling menakutkan di rumah itu.

Ia bersandar di tepi kasur, membiarkan pintu tidak terkunci karena ia tahu persis, suara itu tidak akan menyakitinya. Tapi entah kenapa itu menghancurkannya. Hatinya, harapannya, waktunya, ia merasa sudah sangat terlambat untuk menyesal. Sri menangis untuk puluhan malam yang sama.

Bang Teuku sudah berhenti mengamuk di luar kamar, terdengar suara TV kembali menyala. Beberapa menit kemudian bang Teuku seperti terkekeh oleh sesuatu yang ditontonnya, Sri tau sudah waktunya ia keluar kamar untuk membereskan apa yang dibanting dan dipecahkan bang Teuku tadi.

"Sayang, besok saya jadi ya blusukan ke desa yang ada di belakang perumahan mewah proyekan Walikota itu, sedih saya liatnya."

Sri membereskan satu persatu pecahan beling dan barang-barang yang berceceran di lantai. Tersenyum, seperti tidak ada yang terjadi. Meski matanya masih basah dan sembab.

"Iya, Bang."

20160403

Tulisan di Kepala #3

"Setelah dari RS saya mau ketemu temen-temen saya, kebetulan mereka lagi ada di Jakarta.", Bang Teuku mengabari dari sebrang.

"Oh, kalo gitu anniversary dinner kita digabung aja sama temen-temen kamu?", Sri benar-benar bermaksud bertanya tanpa ada merasa kesal, namun setelah bang Teuku diam dan tidak merespon, Sri tau bahwa ia berhak kesal. "Kamu lupa ini tanggal berapa, bulan berapa dan ada apa... ya?"

Bang Teuku tidak menjawab.

"Setelah ketemu temen-temen, saya kabarin kamu lagi ya."

".........."

"Halo."

"Kamu beneran lupa."
Dalam hati Sri berharap ini hanya skenario bang Teuku untuknya. Tapi harapan itu dengan cepat ia tepis mengingat calon suaminya itu bukan tipe laki-laki yang romantis.

"Saya pikir setelah tunangan kemarin, kita udah ngga akan rayain anniversary kaya gitu lagi, Mba.", kalimat bang Teuku yang begitu tepat sesuai tebakan membuat Sri terdiam. Tidak menanggapi.

"Kabari aku ya."

Mungkin memang harus menjalani seperti ini, banyak hal membuat Sri termenung menimbang posisinya di kepala bang Teuku. Semakin ia memikirkan, semakin ia merasa banyak hal yang salah dalam hubungan yang 6 bulan lagi akan diresmikan. Semakin ia menginginkan pernikahannya, semakin ia merasa harus banyak berkorban. Termasuk mengorbankan perasaannya. Meski ia tidak pernah merasa ini merupakan sebuah keterpaksaan.

Sri pernah berpikir di sebuah malam panjang, mempersiapkan dirinya bila suatu hari harus kehilangan bang Teuku. Setidaknya, Sri belajar banyak untuk hidupnya, cara pandangnya dan prinsipnya. Bang Teuku merupakan laki-laki pertama yang bisa membuatnya percaya bahwa ada sosok yang bisa ia jadikan panutan, setelah selama ini Sri menjalani hidupnya dengan superior dan independensi tinggi. Ia tidak pernah percaya konsep Imam. Baginya kesetaraan adalah tujuan dari semuanya.

Namun dalam masa mengenal dan menginvestigasi bang Teuku, buku-buku tentang Simone de Beauvoir dan Chantal Mouffe tiba-tiba bisa sedikit membaur dengan caranya membaca kesetiaan Siti Khadijah dan keikhlasan Aisyah. Bang Teuku menempatkan dahi Sri sejajar dengannya tanpa perlu ia menunduk atau meninggi, tanpa perlu ia mencari lagi alasan.......... dan kini ia harus merombak semua teori ganjil mengenai itu. Mengenai ketakutannya terbenam di dalam perasaan yang tidak sejajar.


20160331

Tulisan di Kepala #2

Sri dan pacarnya memasuki bulan ke 11. Belum juga kupu-kupu itu penuhi rongga perut yang terasa sudah banyak bunga. Tidak pernah ada perasaan menggelitik itu sampai ke puncak. Namun Sri masih menunggu, mau menunggu, masih mau menunggu.

"Ini cuma cara kita aja yang beda. Kamu begitu caranya cinta sama saya, saya begini caranya cinta sama kamu.", terang bang Teuku sambil menyetir mobil ke arah rumah Sri. Sri selalu lupa menanyakan lebih lanjut dari begitu dan begini versi pacarnya itu, karna sebenarnya hal itu yang Sri keluhkan setiap ia merasa mengalir di arus yang tidak ia inginkan.

"Aku udah ngejalanin sama banyak mantanku. Di bulan-bulan kaya kita sekarang, itu romansanya selalu indah, Bang. Dunia milik berdua, dibungkus wallpaper cinta. Kita, ngelewatin masa-masa kasmaran aja engga, dingin.", Sri bicara sambil memandangi bang Teuku seksama.

"Kamu yang terlalu banyak nonton drama..... Drama korea."

"Atau kamu yang ngga secinta itu?"

Bang Teuku melirik. Ia menarik tangan Sri pelan agar kepala Sri mendekat ke bahunya. Ia cium kening Sri hangat. "Maksudnya ngga pernah kasmaran tuh kaya gimana sih Mba? Kamu maunya kaya gini setiap hari?"

Sri mengangguk.

"Ya udah, saya usahain."

Sri lagi-lagi lupa, janji bang Teuku belum pernah ada yang sempat ia tepati. Terlebih untuk hubungan yang sedang mereka jalani.

Sri tidak pernah benar-benar merasa didatangi kupu-kupu di perutnya, entah mungkin mati atau enggan. Bunga-bunga di dalam perutnya pun ia tanami sendiri, ia siram sendiri. Kadang merasa butuh bantuan untuk mengundang kupu-kupu datang, tapi kepada siapa. Yang ia punya sekarang, seperti tidak mau tau kupu-kupu seperti apa ditunggu Sri.

Tulisan di Kepala #1

Sri menyenderkan kepalanya ke pagar rumah sambil memainkan ponselnya. 5 menit yang lalu, sang suami, bang Teuku menelpon minta disambut di depan pagar. Setelah berganti pakaian dari daster menjadi pakaian sabrina dengan bahu terbuka, ia berlari riang keluar rumah, mengintip dari balik pagar dan suasana subuh itu masih sepi, para tetangga belum ada yang memulai aktivitas rumahnya masing-masing.

Di jam ini, beberapa kali Sri ingat menyambut bang Teuku pulang dengan tampilan cantik rambut tergerai dan baju sedikit seksi mengingat suaminya mudah tergoda olehnya. Ia mengecek wajahnya yang baru bangun namun meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah cukup cantik untuk keluar rumah.

Terdengar suara mesin mobil mendekat, belum sampai di depan rumah, Sri sudah membuka pagar mempersilahkan suaminya memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. Terlihat samar-samar wajah bang Teuku sumringah dan seperti teriak-teriak riang di dalam mobil melihat istrinya, begitupun Sri melompat-lompat kecil tidak sabar menyuruh suaminya turun dari mobil. Sudah 5 hari tidak bertemu membuat mereka seperti dua anak kecil bertemu permen dan coklat kesukaannya.

"Assalamualaikum.."
Sri mencium tangan suaminya, dan suaminya mengecup keningnya.
"Walaikumsalam...."

Sri bangun dari mimpinya.

"Kita sudah pertimbangkan resikonya sejak awal, Bang. Sejak kamu bilang, kamu sudah memasuki usia menikah. Saat itu kita dalam keadaan sadar, benar-benar sadar. Profesi dan prioritas, kita mau bilang apa sekarang karna semua sudah pernah kita sepakati.", Sri mengambil nafas. "Kamu seperti cuma mau bilang, kalau kita salah jalan..."

"Saya... hanya tidak secinta itu."

Airmata yang ia tahan selama sekian tahun, akhirnya tumpah juga. Tanpa isakan, Sri hanya terlalu siap untuk menghadapi kata-kata itu. Ia pun menandatangani gugatan cerai suaminya.