Semula gue pikir gue akan jadi orang yang paling cuek dengan jawab, "tidak ada gunanya menyesal, saya hanya ingin jadi diri saya sendiri dan tidak memperbaiki apa-apa, karena semua sudah terjadi..", tapi...... Kemudian jawaban itu langsung mengingatkan gue pada banyak hal yang seharusnya tidak gue lalui, atau bahkan, membuat gue seharusnya tidak begini. Seperti, kehilangan banyak sahabat di masa-masa gue masih sangat menyayangi mereka.
Gue pernah kuliah di Binus, hanya setahun, tapi ikatan emosional yang udah kebentuk kaya bertaun-taun. Gue ngaku gue alay banget waktu itu dan gue serta-merta menyalahkam sahabat-sahabat gue di sana, tapi pertemanan kami pertemanan terbaik di usia itu. Kami melewati hari-hari dengan sukacita bergembira, lari ke sana-kemari tanpa beban, bisa sangat mendengarkan dan jauh dari sirik-sirikan, bahkan bisa mengharamkan ghibah apabila terhadap orang yang menurut kami tidak pantas dizalimi. Pertemanan kami cukup etis dan romantis.
Tapi mungkin di sini, letak penyesalan gue yang paling dalam. Sering setelah itu gue memikirkan kenapa gue memutuskan untuk pindah, sementara gue menyayangi mereka tanpa tapi. Mereka blangsak, mereka pembuat onar, mereka liar, mereka klepto, mereka lesbi dan mereka sayang gue. Kata penyesalan selalu membawa gue ke sini, saat gue memilih untuk mempercayai seorang laki-laki dibanding temen-temen gue. Bukan salah siapa-siapa, semua salah gue. Gue terlalu egois, terlalu naif, temen gue jadi korban dan persahabatan itu ngga bisa difreeze.
Persahabatan itu berjalanan seiring dengan waktu dan melewati masa-masa senang-sulit bersama-sama. Saat gue pergi, keadaan sedang sulit, dan ngga ada yang bisa nyelametin selain kenangan semasa itu. Gue menciptakan kesalahan terbesar untuk sahabat terbaik gue semasa SMA dan tahun pertama di binus, saat itu gue egois dengan mengumpulkan kesalahannya juga. Kami bertengkar, saling mengumbar kesalahan, saling menjauhi dan mengakhiri. Gue ngga sadar, saat gue kehilangan dia, gue juga kehilangan sahabat-sahabat terbaik gue di binus.
Selama 4 tahun gue mencoba untuk melupakan semua yang membentuk gue di satu tahun terbaik dalam hidup. Mencoba melupakan apa yang menjadi kebiasaan, apa yang menarik kenangan untuk kembali, apa yang ada di hari-hari tapi tidak di hati. Gue kosong, seperti patah hati. Dan andai, ada pertanyaan apa yang terburuk dan disesali dalam hidup namun bisa membantu gue untuk memperbaiki, gue cuma mau bilang dan minta, antarkan gue ke 6 tahun yang lalu, dan gue akan mempersiapkan diri jadi sahabat terbaik untuk mereka.
Mellisa, 29 Desember 2013.
Gue pernah kuliah di Binus, hanya setahun, tapi ikatan emosional yang udah kebentuk kaya bertaun-taun. Gue ngaku gue alay banget waktu itu dan gue serta-merta menyalahkam sahabat-sahabat gue di sana, tapi pertemanan kami pertemanan terbaik di usia itu. Kami melewati hari-hari dengan sukacita bergembira, lari ke sana-kemari tanpa beban, bisa sangat mendengarkan dan jauh dari sirik-sirikan, bahkan bisa mengharamkan ghibah apabila terhadap orang yang menurut kami tidak pantas dizalimi. Pertemanan kami cukup etis dan romantis.
Tapi mungkin di sini, letak penyesalan gue yang paling dalam. Sering setelah itu gue memikirkan kenapa gue memutuskan untuk pindah, sementara gue menyayangi mereka tanpa tapi. Mereka blangsak, mereka pembuat onar, mereka liar, mereka klepto, mereka lesbi dan mereka sayang gue. Kata penyesalan selalu membawa gue ke sini, saat gue memilih untuk mempercayai seorang laki-laki dibanding temen-temen gue. Bukan salah siapa-siapa, semua salah gue. Gue terlalu egois, terlalu naif, temen gue jadi korban dan persahabatan itu ngga bisa difreeze.
Persahabatan itu berjalanan seiring dengan waktu dan melewati masa-masa senang-sulit bersama-sama. Saat gue pergi, keadaan sedang sulit, dan ngga ada yang bisa nyelametin selain kenangan semasa itu. Gue menciptakan kesalahan terbesar untuk sahabat terbaik gue semasa SMA dan tahun pertama di binus, saat itu gue egois dengan mengumpulkan kesalahannya juga. Kami bertengkar, saling mengumbar kesalahan, saling menjauhi dan mengakhiri. Gue ngga sadar, saat gue kehilangan dia, gue juga kehilangan sahabat-sahabat terbaik gue di binus.
Selama 4 tahun gue mencoba untuk melupakan semua yang membentuk gue di satu tahun terbaik dalam hidup. Mencoba melupakan apa yang menjadi kebiasaan, apa yang menarik kenangan untuk kembali, apa yang ada di hari-hari tapi tidak di hati. Gue kosong, seperti patah hati. Dan andai, ada pertanyaan apa yang terburuk dan disesali dalam hidup namun bisa membantu gue untuk memperbaiki, gue cuma mau bilang dan minta, antarkan gue ke 6 tahun yang lalu, dan gue akan mempersiapkan diri jadi sahabat terbaik untuk mereka.
Mellisa, 29 Desember 2013.