Saat pesawat
cruising di
final level gue punya sedikit waktu senggang untuk nerbangin pikiran gue keluar dari pesawat ini. Kadang pikiran yang sering gue kunjungin adalah pikiran tentang "Bagus lagi apa? Udah makan belum ya?" atau "Pesawat di bawah secanggih pesawat gue ngga ya?" atau ngga jarang juga pikiran gue melanglangbuana ke belakang karena obrolan gue sama Kepten gue mengarahkan gue ke sana.
Kebanyakan pertanyaan yang dateng ketika tau gue lulusan Filsafat UI adalah.... "Kok, ambil Filsafat Mel? Kenapa?", lalu muka gue pun sumringah sesumringah kalo ditanya "Mel terbang pesawat apa?", karna gue mencintai dua hal itu. Filsafat dan
Boeing. Haha.
Sedikit cerita, dulu kalo ditanya senior jaman Ospek,
"Alasan masuk Filsafat apa?"
Jawaban gue pasti, "Saya mau jadi Penulis." Itu doang sampe bosen.
Sampai gue akhirnya setuju, keputusan gue milih Filsafat UI sebagai pilihan pas ujian SNMPTN tahun 2009 adalah keputusan terbaik gue dalam hidup. Kalo ngga kuliah jurusan Filsafat ngga kebayang gue akan jadi orang kaya apa setelah banyak hal banal gue lewatin selama ini. Sejauh ini, Filsafat yang menyelamatkan gue, mengubah
default pikiran gue, dan melatih kerja otak gue secara otomatis ke garis etis dan romantis. Empat tahun aja, tapi dampaknya seumur hidup.
Filsafat itu sulap buat gue. Sebelum masuk Filsafat gue adalah kera dalam gua. Menjalani hidup dengan sangat-sangat pragmatis. Sampai kerja otak gue setara dengan kerja gerobak mie ayam, didorong maju, ditarik mundur. Ngga punya sikap. Kesadaran gue akan hal ini membawa gue mencari dunia yang bisa jadi pintu dimana otak gue bisa naik kastan dari gerobak mie ayam jadi gerobak mainan. Beragam dan menarik.
Filsafat, awalnya, like
literally, gue pikir cuma belajar tentang sejarah Filsuf-filsuf dan pemikiran mereka, tugas-tugas yang diminta Dosen ngga pernah gue anggap serius, saat kebagian mimpin diskusi di kelas bahan-bahannya gue siapkan 2 menit sebelum nama gue dipanggil, atau gue lebih milih nongkrong di kantin nontonin senior-senior gue yang gondrong bakar tembakau. Ngga ada yang gue inget tentang dunia akademisnya selain ketika gue dihadapkan dengan kenyataan kalau gue harus ngerjain Skripsi supaya gue bisa lulus dengan gelar Sarjana Humaniora. Dan gue diserahkan kepada salah satu Dosen nyentrik se-UI, Rocky Gerung.
Memiliki dia sebagai dosen pembimbing jadi masa-masa paling menyenangkan sepanjang gue kuliah. Karna, begitu kenal dia gue baru bisa mengimplementasikan apa itu Filsafat ke dalam keseharian. Secara otomatis, Rocky Gerung yang gue panggil Bapak, jadi bapak gue beneran. Gue menanti dimana hari Senin kembali, karna jadwal bimbingan gue selalu jadi hari paling extra selama seminggu, gue dapet caci-maki tapi juga pelajaran sepanjang hidup dalam satu waktu. Manusia konsisten, logis dan etis dengan pikiran paling terbuka yang paling berhati yang pernah gue temui.
Bapak jadi makin bapak begitu gue berhasil menyelesaikan Skripsi gue dengan nilai yang sangat memuaskan, seperti bapak-bapak pada umumnya, dia bangga. Dia tersenyum dan bilang,
"
bikin buku, ya."
Namun, saat itu gue hanya tersenyum, menjawab pelan, "Pak, saya mau pendidikan dulu ya tapi." dan gue pun cabut.
Meninggalkan mimpi-mimpi lulusan Filsafat di tempatnya.
Dan setelahnya hari-hari kita ketemu hanya diisi oleh curhatan-curhatan hidup, tentang percintaan atau ngomongin kelakuan orang dengan otak Filsafat satu semester setengah, yang ketemu jaman Yunani dan berakhir di Abad Pertengahan.
Sepanjang perjalanan gue selalu membawa aura Bapak kemanapun gue pergi. Gue belajar konsisten, belajar jadi orang yang logis-etis-romantis dengan pikiran seterbuka mungkin. Tiap gue ngerasa hampir gagal menguasai diri karna gemes liat banalitas, gue nyariin Bapak di Youtube atau TV dan dengerin dia ngomel-ngomel lalu gue pun jadi tenang. Seperti melampiaskan omelan gue melalui dia.
That's why mungkin gue emang harus belajar Filsafat sebelum gue memulai apapun itu dalam hidup. Memulai karir dan rumah tangga. Gue perlu ketemu Bapak dulu. Gue butuh memiliki Bapak untuk menyeimbangkan hidup gue. Gue butuh seorang Bapak.
Jadi, kenapa gue dulu memilih masuk Filsafat?
Mau jadi Penulis.
Tetap dengan alesan itu?
Iya. Karna mau bikin buku, buku buat Bapak.